Jumat, 16 November 2018

AKULTURASI, EMIK DAN ETIK

AKULTURASI


Akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.

Akulturasi adalah proses berpadunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan yang berasal dari luar/asing, lalu menghasilkan kebudayaan baru. Menurut saya Akulturasi dapat menimbulkan dua efek, yang pertama yaitu efek yang dapat dikatakan menguntungkan dan bernilai positif, dapat dikatakan seperti itu karena dari proses akulturasi tersebut dapat menghasilkan kebudayaan baru yang tinggi nilainya, dan memiliki manfaat.
Sedangkan efek yang kedua menurut saya adalah efek yang negatif, dikatakan begitu sebab hasil dari akulturasi tersebut juga dapat  memberikan efek tidak baik atau negatif terhadap masyarakat, dan tidak memilki manfaat.

Akulturasi dapat terjadi selama adanya kontak antar manusia. Dari pernyataan tersebut dapat saya simpulkan bahwa yang memegang peranan penting dalam terjadinya akulturasi tersebut adalah manusia.  Apabila ingin dampak dari akulturasi tersebut bernilai positif atupun berdampak negatif, semua itu tergantung pada manusianya dalam menerima kebudayaan asing, mana yang ingin ia serap dan yang ingin diakulturasikan. Di sinilah akal pikiran manusia dipakai, yaitu untuk memfilter kebudayaan asing mana yang ingin dia serap.

Sistem akulturasi umum di mana ada dua budaya dalam kontak. Dilihat dari asasnya, setiap budaya dapat mempengaruhi budaya lainnya secara sama, tetapi dalam praktek, budaya yang satu cenderung menguasai budaya lain, yang akhirnya menggiring ke arah pembedaan antara “kelompok dominan” dan “kelompok berakulturasi”.
Dengan itu, tak lantas dapat dikatakan, perubahan-perubahan dalam budaya dominan tidak menarik atau tidak penting: akulturasi kadang mengakibatkan perluassan populasi, makin beragamnya budaya, menimbulkan reaksi-reaksi sikap (prasangka dan diskriminasi), dan perkembangan kebijakan (misal, dalam daerah imigrasi, pluralisme budaya, kedwibahasaan, dan persekolahan).
Satu akibat kontak dan pengaruh itu, aspek-aspek kelompok yang berakulturasi menjadi tertransformasikan sedemikian rupa sehingga ciri-ciri budaya menjadi tidak sepadan dengan ciri-ciri dalam kelompok asal pada saat pertama kali kontak.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya suatu proses Akulturasi. Diantaranya:

  1. Faktor Intern (dalam), antara lain:

Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
Adanya Penemuan Baru:
Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
Invention : penyempurnaan penemuan baru dan
Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada.
Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsur dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
  1. Konflik yang terjadii dalam masyarakat
  2. Pemberontakan atau revolusi

2. Faktor Ekstern (luar), antara lain :

  • Perubahanalam
  •     Peperangan

    3. Pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi)




     PEMAHAMAN TENTANG EMIK DAN ETIK

 Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal.

Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).  Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal),

maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.

Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan.  Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.

Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat.

Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Contoh : Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial, atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: Pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb.
Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang Etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan Emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.

Dalam pandangan Emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
Contoh lainnya adalah para pemerintah. Dalam pandangan etik, mereka adalah orang-orang yang sangat dibenci oleh masyarakat karena ada sebagian melakukan tindak korupsi yang dapat merugikan masyarakat, khususnya masyarakat tingkat bawah (masyarakat miskin). Dalam pandangan emik, mereka adalah orang-orang yang sangat berperan penting dalam pembangunan negara Indonesia.

Misalnya saja mahasiswa UNHAS. Dalam pandangan etik (pandangan luar), mereka selalu bertindak anarkis, sering melakukan demonstrasi, dan merusak fasilitas-fasilitas umum seperti lampu merah. Tetapi dalam pandangan emik, jika dilihat dari dalam, mereka adalah orang-orang yang berpendidikan baik dan pasti memiliki etika yang baik, yang merupakan calon-calon penerus bangsa.
Contoh lain adalah pemulung. Dari pandangan etik mereka adalah orang-orang yang mengambil barang-barang bekas, pemulung adalah orang mengais rejeki dari sampah-sampah bekas kemudian dijual kembali oleh mereka untuk menyambung hidup. Tetapi dari segi emik, tanpa pemulung, petugas kebersihan, terutama dijalan-jalan, akan lebih kerepotan untuk membersihkan jalanan karena banyaknya sampah yang berserakan.
Contoh berikutnya adalah orang-orang pengangguran. Dari segi etik, mereka adalah orang-orang yang bodoh, malas bekerja, sehingga banyak terjadi kejahatan dimana-mana. Tetapi dari segi emik, mereka adalah adalah korban dari kesenjangan ekonomi, dan ketidakadilan dari pemerintah sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa bersekolah, sehingga menjadi pengangguran.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.


Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya.

   Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan (Etik).

Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik).



Sekian yang bisa saya ulas mengenai tugas kuliah saya dari matakuliah Konseling Lintas Budaya.
Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyampaian kata-kata diatas 🙏